Balada Sebuah Ibukota Yang Terlupakan


Lancaster. Sebuah kota kecil di sisi timur-laut Amerika Serikat. Pada 27 September 1777 kota yang tenang ini tiba-tiba berubah menjadi pusat perhatian. Kekalahan yang diderita oleh Pasukan George Washington dari tentara Inggris memaksa Kongres Amerika Serikat yang saat itu berpusat di Philadelphia untuk mengevakuasi diri. Pada hari pertamanya berada di Lancaster, kongres AS mengadakan pertemuan dan mengambil sejumlah keputusan penting, termasuk menetapkan Benjamin Franklin sebagai utusan dalam perjanjian damai dengan pihak Prancis di perbatasan Kanada. Keesokan harinya, Kongres AS bergerak lagi untuk mengevakuasi diri ke tempat yang lebih aman, namun nama Lancaster telah tertulis abadi dalam sejarah Amerika Serikat.

Ribuan mil dari lokasi bersejarah tersebut, nun jauh di sisi Selat Malaka, sebuah kota lain menyimpan kisah serupa. Terhitung sejak 15 Juni 1948, kota Bireuen yang terletak di pesisir utara Aceh ditetapkan sebagai ibukota Republik Indonesia selama satu pekan. Setahun sebelumnya Belanda sudah lebih dulu menyerang Yogyakarta –ibukota Indonesia saat itu-  dalam Agresi Militer I. Meskipun akhirnya berhasil dipukul mundur, pasukan Belanda masih bernafsu untuk kembali menguasai Indonesia.

Maka, tak heran ketika pesawat tempur Belanda kembali memenuhi langit Yogyakarta di pertengahan tahun 1948, Presiden Soekarno langsung merasa khawatir. Usia Republik Indonesia belum lagi genap 4 tahun, namun kini kedaulatan mereka terancam. Soekarno bergegas menyuruh anak buahnya untuk mencari lokasi yang aman untuk melanjutkan pemerintahan Indonesia. Sebuah tempat yang akan memastikan bahwa kemerdekaan yang diraih pada 17 Agustus 1945 akan tetap mampu dipertahankan.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, pilihan jatuh kepada Bireuen. Kronologi pemindahan presiden ke Bireuen merupakan satu peristiwa yang tidak pernah didokumentasikan dengan jelas dalam catatan sejarah Indonesia, namun takkan pernah terlupakan oleh rakyat Aceh.  Presiden Soekarno dan para pejabat pemerintahan lainnya berangkat ke Bireuen menumpang pesawat yang dipiloti oleh Teuku Iskandar. Mereka mendarat di Lapangan Cot Gapu, disambut oleh Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh, Panglima Divisi X Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama, tokoh masyarakat, serta anak-anak Sekolah Rakyat (SR).

Rombongan lalu menuju kediaman Kolonel Hussein Joesoef, yang disiapkan sebagai kediaman Soekarno selama berada di sana. Bireuen dideklarasikan sebagai pusat pemerintahan sementara hingga Yogyakarta berhasil direbut kembali. Malam harinya diselenggarakan leising (rapat umum) akbar. Warga Bireuen dan sekitarnya berbondong-bondong datang memenuhi lapangan Cot Gapu, bersemangat untuk bertemu muka dan mendengar langsung pidato Sang Proklamator. Presiden Soekarno yang juga menjabat Panglima Militer Tertinggi dengan ciri khasnya berpidato berapi-api mengajak rakyat untuk berjuang menghentikan serbuan Belanda yang saat itu telah mencapai wilayah Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang).

Presiden Soekarno di Lapangan Cot Gapu (atas); dan di depan Pendopo Bireuen (bawah)

Dalam beberapa tahun terakhir kita seringkali mendengarkan bagaimana nasionalisme orang Aceh dipertanyakan. Faktanya, saat Indonesia berada dalam kondisi kritis orang Aceh-lah yang turun tangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain menjadi  pusat pemerintahan, Bireuen juga merupakan markas pertahanan Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo di bawah pimpinan Kolonel Hussein Joesoef. Gudang persenjataan militer dipusatkan di Juli Keude Dua, sekitar 3 km dari kota Bireuen.  Dari sinilah dikirimkan pasukan ke Sumatera Utara ketika terjadi pertempuran Medan Area. Banyak dari para pejuang yang gugur di pertempuran tersebut bahkan tidak sempat dibawa pulang jenazahnya ke kampung halaman, sebagian dimakamkan di TMP Binjai dan di TMP Langsa, Aceh Timur.

Aceh juga menjadi tumpuan perjuangan di jalur diplomatik. Ketika Radio Belanda berkoar-koar mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia telah kembali berada di bahwa kekuasaan Belanda. Radio Rimba Raya yang terletak di Aceh Tengah (sekarang Bener Meriah) menjadi satu-satunya siaran radio yang mengabarkan bahwa Indonesia masih memiliki tanah dan ibukota yang berdaulat, sekaligus mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang lainnya untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan negara dari penjajahan Belanda. Radio tersebut juga digunakan untuk menyampaikan pesan bersandi kepada perwakilan Republik Indonesia di New Delhi, India.

Seminggu setelah pidato yang menggetarkan Cot Gapu, Soekarno berangkat ke Banda Aceh untuk meminta kesediaan rakyat Aceh menyediakan pesawat untuk kebutuhan diplomasi Republik Indonesia. Gubernur Militer Daud Beureueh  lalu mengadakan pertemuan dengan para pengusaha Aceh dan berhasil mengumpulkan dana pembelian pesawat terbang resmi pertama Republik Indonesia. Pesawat tersebut dinamai RI-001 Seulawah, mengadopsi nama gunung Seulawah di Aceh Besar, dan kelak menjadi cikal bakal dari Garuda Indonesia.

Monumen "ibukota sehari" Lancaster, Amerika Serikat.
Hingga saat ini, kota Lancaster merayakan tanggal 27 September sebagai hari libur regional dan sebuah tugu bernama "Soldiers and Sailors Monument” didirikan di tengah kota untuk menghormati peran kota tersebut selama Perang Sipil Amerika. Sebuah contoh bagaimana negara besar menghormati sejarahnya, tak peduli sekecil apapun itu. Sayangnya, nasib Bireuen tidak seberuntung Lancaster. Alih-alih diperingati secara resmi, nama Bireuen bahkan tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah yang dipelajari oleh anak-anak Indonesia di sekolah. Hingga saat ini Bireuen juga masih belum memiliki monumen peringatan maupun Taman Makam Pahlawan.

Bahkan gelar “Kota Juang” yang disematkan untuk Bireuen pun terasa hambar karena hanya diketahui oleh kalangan lokal saja. Tanyakan pada para pemuda Aceh, dan sebagian dari mereka akan kesulitan menjelaskan asal-usul sebutan tersebut. Tanyakan pada warga non-Aceh dan hampir bisa dipastikan mereka bahkan tidak pernah mendengarnya. Faktanya, sebuah negara tidak akan dianggap berdaulat tanpa memiliki pemerintahan yang berfungsi dan terbebas dari kungkungan bangsa lain. Hal ini menegaskan bahwa peran Bireuen, meskipun singkat namun berpengaruh penting memastikan kesinambungan pemerintahan Republik Indonesia di saat Belanda sudah kembali menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara lainnya. Ironis rasanya jika kemudian Bireuen dan para pahlawannya tidak mendapat ruang sama sekali dalam catatan sejarah resmi bangsa ini. 

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”. Nah, sudahkah Indonesia termasuk bangsa yang besar? Semoga tulisan ini bisa membuka mata para pembaca bahwa dulu, ketika negeri ini masih di usia belianya, Bireuen dan Aceh pernah menjadi garda terdepan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
0 Komentar untuk "Balada Sebuah Ibukota Yang Terlupakan"